IMAM Besar Masjid New York asal Indonesia Shamsi Ali yakin bahwa orientasi seks homoseksual bisa kembali nasib normal. Ia berkisah mengenai pria gay tinggi bertato yang saat ini menjadi muridnya.
Berbagai tahun lalu, Shamsi Ali ditelpon oleh seorang sopir limo di kota New York. Menurutnya ada pelanggan mobil dirinya yang ingin belajar Islam.
“Saya meminta dirinya agar datang ke masjid,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2/2016).
Di sebuahhari, lanjutnya, datanglah orang itu. Ia berkulit putih, dengan tubuh tinggi besar serta bertatto. Seusai duduk Shamsi bertanya, “Kenapa mau belajar Islam?,”
Dia berbicara karena dirinya ingin jalan nasib yang menuntunnya dalam 24 jam 7 hari. Dirinya beragama Budha saat itu. Mesikipun lahir Katolik, lalu pindah Protestan, serta akhirnya masuk Budha. Bahkan ketika datang ke Shamsi, pria tersebut berpakaian biksu untuk tujuan menghargainya sebagai Imam.
Singkat cerita, Presiden Nusantara Foundation ini membahas bagaimana Islam menuntun nasib manusia dalam 24 jam sehari semalam.
“Baru berbagai menit dirinya memotong saya serta bertanya: apakah benar saya bisa diterima sebagai Muslim?”
Saya jawab: “semua manusia dirangkul oleh Islam serta semua mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi yang paling baik.”
Dirinya setelah itu membahas tuntunan Islam. Tapi orang tersebut memotong penjelasannya lagi, “Are you sure I can be accepted in Islam?”
Sebab terkejut Shamsi pun bertanya, “Kenapa bertanya demikian?”
“Because I am a gay,” jawabnya jujur.
Saya, kata pria kelahiran Sulawesi ini, lalu bertanya kepadanya, sejak kapan Kamu merasakan semacam itu? Apakah sejak kecil? Dirinya diam sejenak lalu berbicara bahwa dirinya seorang gay saat mengawali bisnisnya sebagai event organizer dalam bidang fashion show. Pergaulannya di dunia model yang menjadikannya mempunyai kecenderungan semacam itu.
Shamsi menerangkan bahwa menjadi muslim tak sekadar pindah agama. Tapi mau meperbuat perubahan. Orang itu pun dengan tegas menjawab, “Yes, I will.”
Alhamdulillah, Shamsi bersyukur, seusai masuk Islam, dua bulan setelah itu pada bulan Ramadan dirinya menelponnya mengabarkan bahwa muridnya itu berpuasa serta merasakan ketenangan.
Setahun setelah itu di musim haji, direktur Muslim Jamaica Center ini kembali mendapat telepon darinya, memberi tau kalau dirinya lagi di Maroko untuk menikahi calon istrinya.
“Dia rupanya diam-diam mencari jodoh lewat biro jodoh di internet. Alhamdulillah, teman kami ini telah berkeluarga serta bertersanjung,” paparnya.
Menurut Shamsi, perubahan bakal rutin mungkin diperbuat. Apalagi itu adalah tahap dari preferensi gaya nasib.
“Saya terbukti tak lebih mengerti dengan mereka yang membela homo serta lesbi. Di satu segi meninggikan ‘performa manusia untuk menentukan opsi’. Tapi di segi lain mereka berargumen seolah kaum homo serta lesbi itu tunduk patuh pada ketentuan lahir. Di dunia ini terbukti tak sedikit paradoks!” tutupnya.
Berbagai tahun lalu, Shamsi Ali ditelpon oleh seorang sopir limo di kota New York. Menurutnya ada pelanggan mobil dirinya yang ingin belajar Islam.
“Saya meminta dirinya agar datang ke masjid,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2/2016).
Di sebuahhari, lanjutnya, datanglah orang itu. Ia berkulit putih, dengan tubuh tinggi besar serta bertatto. Seusai duduk Shamsi bertanya, “Kenapa mau belajar Islam?,”
Dia berbicara karena dirinya ingin jalan nasib yang menuntunnya dalam 24 jam 7 hari. Dirinya beragama Budha saat itu. Mesikipun lahir Katolik, lalu pindah Protestan, serta akhirnya masuk Budha. Bahkan ketika datang ke Shamsi, pria tersebut berpakaian biksu untuk tujuan menghargainya sebagai Imam.
Singkat cerita, Presiden Nusantara Foundation ini membahas bagaimana Islam menuntun nasib manusia dalam 24 jam sehari semalam.
“Baru berbagai menit dirinya memotong saya serta bertanya: apakah benar saya bisa diterima sebagai Muslim?”
Saya jawab: “semua manusia dirangkul oleh Islam serta semua mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi yang paling baik.”
Dirinya setelah itu membahas tuntunan Islam. Tapi orang tersebut memotong penjelasannya lagi, “Are you sure I can be accepted in Islam?”
Sebab terkejut Shamsi pun bertanya, “Kenapa bertanya demikian?”
“Because I am a gay,” jawabnya jujur.
Saya, kata pria kelahiran Sulawesi ini, lalu bertanya kepadanya, sejak kapan Kamu merasakan semacam itu? Apakah sejak kecil? Dirinya diam sejenak lalu berbicara bahwa dirinya seorang gay saat mengawali bisnisnya sebagai event organizer dalam bidang fashion show. Pergaulannya di dunia model yang menjadikannya mempunyai kecenderungan semacam itu.
Shamsi menerangkan bahwa menjadi muslim tak sekadar pindah agama. Tapi mau meperbuat perubahan. Orang itu pun dengan tegas menjawab, “Yes, I will.”
Alhamdulillah, Shamsi bersyukur, seusai masuk Islam, dua bulan setelah itu pada bulan Ramadan dirinya menelponnya mengabarkan bahwa muridnya itu berpuasa serta merasakan ketenangan.
Setahun setelah itu di musim haji, direktur Muslim Jamaica Center ini kembali mendapat telepon darinya, memberi tau kalau dirinya lagi di Maroko untuk menikahi calon istrinya.
“Dia rupanya diam-diam mencari jodoh lewat biro jodoh di internet. Alhamdulillah, teman kami ini telah berkeluarga serta bertersanjung,” paparnya.
Menurut Shamsi, perubahan bakal rutin mungkin diperbuat. Apalagi itu adalah tahap dari preferensi gaya nasib.
“Saya terbukti tak lebih mengerti dengan mereka yang membela homo serta lesbi. Di satu segi meninggikan ‘performa manusia untuk menentukan opsi’. Tapi di segi lain mereka berargumen seolah kaum homo serta lesbi itu tunduk patuh pada ketentuan lahir. Di dunia ini terbukti tak sedikit paradoks!” tutupnya.