Dalam kajiannya di Al Qashim, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, seorang ulama besar negeri Arab yang populer, sempat didatangi seorang pemuda bernama Khalid yang saat itu tetap berstatus sebagai mahasiswa.
Seusainya dari majelis muhadharah tersebut, beliau menghampiri Syaikh ‘Utsaimin yang hendak pulang ke rumah. Syaikh ‘Utsaimin rutin berlangsung kaki dari rumah ke tempat kajian begitu pula sebaliknya. Di tengah jalan pemuda itu nekat memberanikan diri untuk bertanya, “Syaikh, apakah Kamu memiliki anak perempuan?”
Ketika mendengar pertanyaan pemuda tersebut, Syaikh ‘Utsaimin berubah mimik mukanya serta bertanya, “Ada apa akhi?”
Pemuda itu menjawab, “Kalau ada, saya berniat meminangnya, bolehkah saya meminangnya?”
Lalu apa yang diperbuat Syaikh ‘Utsaimin? Apakah beliau bertanya usaha bapak kamu apa? Kamu telah hafal hadits berapa? Sebelumnya kamu lulusan apa? Gaji kamu berapa? Tabungan kamu berapa? Bahkan Syaikh ‘Utsaimin tak memberbagi suatu pertanyaan apapun terhadap pemuda ini, Syaikh ‘Utsaimin hanya mengatakan, “Tunggulah berita dariku, In sya Allah bakal aku telepon…”
Lalu dalam hari-hari penantian berita tersebut, pemuda ini mengalami kegelisahan juga, satu hari berlalu, dua hari berlalu, sampai sepekan berlalu. Ia bertanya dalam hati, “Apakah Syaikh lupa ya, butuhkah saya mengingatkannya?”
Tetapi, pemuda ini teringat perkataan Syaikh yang menyuruhnya menantikan. Sampai akhirnya sebulan seusai momen itu ada telepon yang dialamatkan ke asrama. Namun kebetulan pemuda itu sedang kuliah.
Akhirnya dari pihak asrama memberi tau ke pemuda ini bahwa beliau dicari oleh Syaikh ‘Utsaimin. Dalam hati dirinya bertanya, “Kenapa ya Syaikh ‘Utsaimin mencariku?”
Nyatanya pemuda ini telah agak pesimis serta bahkan agak melupakan mengenai permintaannya.
Ketika beliau melepon Syaikh ‘Utsaimin, beliau bertanya, “Ada apa Syaikh?”
“Aku ingin melanjutkan pembicaraan kami waktu itu akhi?”
“Pembicaraan yang mana, Syaikh?”
“Pembicaraan ketika kamu menyusul saya di jalan. Akhi, silahkan kamu lanjutkan prosesnya..”
Pemuda itupun terkejut, nyatanya Syaikh ‘Utsaimin tetap mengingatnya serta beliaupun akhirnya membalas pernyataan Syaikh ‘Utsaimin dengan terbata-bata, “Syaikh, perkenankan saya mengabari orang tua saya terlebih dahulu untuk kelanjutannya…”
“Silahkan akhi, saya tunggu kedatangan kalian…”
Nyatanya pemuda yang bermodal nekat ini juga belum mengumumkan orangtuanya kalau beliau hendak menikahi anak Syaikh ‘Utsaimin.
Pertanyaannya adalah apa yang diperbuat Syaikh ‘Utsaimin selagi satu bulan tersebut? Inilah akhlak ‘ulama yang wajib dicontoh oleh wali seorang anak perempuan…
Syaikh ‘Utsaimin nyatanya menyelidiki sendiri mengenai pemuda ini, dari pergaulannya, bagaimana di mata teman-temannya, di mata gurunya, bagaimana keseriusan dalam belajarnya, prestasinya di kampus, latar belakang keluarganya. Itu beliau perbuat sendiri! Bukannya langsung ditanyakan terhadap pemuda itu di tempat itu serta saat itu juga. Serta akhirnya seusai mengenalnya dengan jelas, barulah beliau memutuskannya seusai bermusyawarah dengan keluarga beliau.
Pemuda ini adalah pria pada gambar di atas, ia adalah Syaikh Dr. Khalid Al Mushlih yang sekarang menjadi salah satu ulama yang dikenal di negeri Arab.